Selasa, 13 November 2007

AKHIRNYA SEMUA KITA AKAN PERGI

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Minggu pagi tanggal 11 November 2007, saya diberitahu oleh kakak saya, salah seorang saudara sepupu saya, Abdul Hamid bin Baharum, telah berpulang ke rahmatullah, setelah seminggu menderita sakit. Mendapat kabar itu, saya langsung bergegas menyetir mobil datang ke rumahnya di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Ketika tiba, saya menyaksikan jenazahnya yang terbaring kaku sedang dimandikan. Saya menunggui sampai jenazah dikafani dan kemudian disholatkan di sebuah mushalla kecil tidak jauh dari rumahnya. Selesai dishalatkan, sejumlah orang membawa jenazah ke sebuah ambulan. Mereka semua berangkat ke pemakaman umum karet. Jenazahpun dimakamkan. Ada dua orang memakai peci dan kain sarung dan berbaju batik membaca talqin dan kemudian berdoa bersama-sama.
Sebagai saudara dekat, saya diminta untuk menyampaikan sambutan. Setelah menyampaikan ucapan terima kasih, mohon doa dan mohon maaf bagi almarhum, saya mengutip salah satu peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. Suatu ketika Rasulullah menyaksikan sekelompok orang membawa jenazah ke pemakaman. Rasulullah bertanya, jenazah siapakah yang akan dimakamkan itu. Maka salah seorang dari mereka menjawab bahwa itu adalah jenazah si Fulan. Rasulullah kemudian bertanya kepada mereka: Adakah si Fulan itu, selama hidupnya dikenal sebagai orang yang baik. Mereka serentak menjawab: Kami menyaksikan, ya Rasul Allah, si Fulan itu memang orang baik. Maka bersabdalah Rasulullah: Jika jenazah seseorang di usung ke pemakaman, dan 40 orang mengatakan bahwa dia adalah orang baik, maka Allah SWT akan memasukkan ruh orang itu ke dalam surga. Kemudian, saya bertanya kepada hadirin yang hadir di pemakaman: Adakah Saudara-saudara semua menyaksikan bahwa semasa hidupnya, Abdul Hamid bin Baharum ini adalah orang yang baik? Maka serentak para hadirin menjawab: Ya, beliau orang yang baik. Maka saya berkata: Ya Allah, ampunilah saudara kami ini kalau dia melakukan kesalahan. Terimalah segala amal kebajikan yang telah dilakukannya. Masukkanlah dia ke dalam surga Jannatun Na'im.
Selesai upacara pemakaman yang amat bersahaja itu, istri saya yang ikut ke pemakaman Karet bertanya kepada saya. Dia katakan dalam Bahasa Inggris, Pak Hamid yang baru meninggal tadi pagi, mengapa begitu cepat dimakamkan. Di Jepang atau di Philipina, katanya, jenazah baru dimakamkan beberapa hari, bahkan seminggu setelah kematian. Tadi juga saya melihat, ketika imam membaca do'a, mengapa orang yang hadir tidak mengikutinya dengan serius. Mereka saling ngobrol sesamanya. Isteri saya bertanya demikian, karena seumur hidupnya, inilah untuk pertama kalinya dia bertakziah ke rumah seorang Muslim yang meninggal dan mengikuti upacara pemakaman. Dia baru memeluk agama Islam setahun lebih. Sambil menyetir mobil saya jelaskan kepadanya, bahwa dalam ajaran Islam, orang meninggal harus segera dimakamkan. Tidak perlu menunggu lama-lama karena hanya akan memberatkan ruh orang yang meninggal.
Jika seseorang telah wafat, maka selesailah urusannya dengan dunia ini, kecuali tiga hal, yakni ilmu yang bermanfaat dan diajarkan kepada orang lain, amal jariah dan anak yang soleh yang terus-menerus mendoakan orang tuanya. Jika telah wafat, kita harus merelakannya untuk pergi menemui sang Pencipta. Keluarga si meninggal, tidak boleh tenggelam dalam kesedihan, karena setiap orang pasti akan mati. Karena itu, jika anak-anak dan isteri si mati telah hadir, maka kaum kerabat yang lain tak perlu ditunggu lama-lama. Jenazah akan segera dimakamkan. Isteri saya nampak mengerti. Dia berkomentar, alangkah sederhananya upacara pemakaman menurut agama Islam. Dia berdiri di sisi liang lahat dan melihat jenazah diturunkan hanya memakai kain kafan, tanpa kerenda dan dia bertanya tentang hal itu. Saya katakan padanya, ini adalah filosofi ajaran Islam bahwa jasad manusia berasal dari tanah. Karena itu, kembali ke tanah seperti semula. Terhadap kritiknya mengapa hadirin kurang khusyu' ketika pembaca talqin membaca do'a, saya menerima kritik itu. Saya sependapat dengannya, alangkah baiknya jika kita mengikuti upacara pemakaman dengan perasaan yang lebih khidmat.
*******


Sejak saya datang ke rumah saudara sepupu saya yang wafat itu, saya sungguh merasa sedih, terharu dan berpikir panjang. Rupanya, hari ini berakhirlah kisah perjalanan seorang anak manusia, setelah melalui lautan perjalanan hidup yang cukup panjang. Dia wafat dalam usia 68 tahun. Hamid Baharum yang saya kenal, memang orang baik, sederhana dan bersahaja. Dia bersekolah di sebuah sekolah teknik di Manggar, Belitung, yang cukup menjadi kebanggaan masyarakat Belitung yang sederhana di masa itu. Sekolah itu telah ada sejak tahun 1928, ketika bangsa kita masih dijajah, dan bernama Ambach School (maaf kalau saya salah menulis kata Bahasa Belanda ini). Orang Belitung yang pada umumnya hidup miskin dan bersahaja, sangatlah bersuka-cita kalau anaknya diterima di sekolah itu. Bayangkan, baru menjadi murid saja sudah dianggap setengah pegawai oleh PN Tambang Timah. Kalau tamat akan langsung diangkat sebagai pegawai tetap perusahaan negara itu, dengan gaji dan fasilitas yang lumayan besarnya bagi orang di kampung. Tiap bulan murid sekolah itu mendapat setengah gaji pegawai tetap, mendapat beras 10 kilo, dan berbagai ransum keperluan sehari-hari mulai dari kacang hijau, gula, kopi, minyak goreng sampai sabun mandi, odol dan sikat gigi. Begitu suka citanya orang tua ketika anak mereka diterima, dapat saya ingat ketika saya masih kecil: ada tetangga kami yang tiba-tiba menyelenggarakan kenduri. Ayah saya diundang untuk membaca do'a. Saya tentu ikut ayah saya agar dapat makanan dengan lauk-pauk yang lebih enak, dibandingkan dengan apa yang saya makan sehari-hari. Setelah tiba di rumah tetangga itu, barulah saya tahu, beliau menyelenggarakan kenduri karena anaknya diterima di sekoah teknik tempat Hamid Baharum pernah bersekolah itu.


Tetapi, Hamid Baharum rupanya tidak puas hanya sekolah di sekolah teknik itu, dan kurang puas pula menjadi pegawai PN Tambang Timah dengan gaji yang lumayan besarnya. Dia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya ke STM. Dia ingin mengadu nasib. Saya tidak ingat persis kapan dia hijrah ke Jakarta. Mungkin sekitar tahun 1958. Ketika itu saya baru berusia dua tahun. Jadi mustahil untuk tahu dan mengingatnya. Namun rupanya nasib Hamid tidaklah sebaik yang dia harapkan. Setelah tamat STM dia bekerja di berbagai perusahaan swasta sebagai pegawai kecil. Rumahnya sangat sederhana. Dia tinggal di perkampungan yang terbilang kumuh di sebuah gang kecil di Jalan Pintu Air, tidak jauh dari stasiun kereta api Pasar Baru. Ketika saya telah menjadi mahasiswa dan tinggal di Jakarta, saya berusaha mencari rumah Hamid. Pernah saya berjalan kaki dengan almarhum ayah saya mencari rumahnya dan bertanya kepada penduduk di sekitar Jalan Pintu Air. Namun usaha saya sia-sia. Saya tak berhasil menemukan rumahnya. Alamatnya tidak terlalu jelas. Saya baru bertemu Hamid, setelah lebih sepuluh tahun saya tinggal di Jakarta. Dia membaca nama saya di koran-koran dan melihat wajah saya di televisi, lalu berusaha mencari alamat saya sampai akhirnya kami bertemu. Sejak itu saya sering bertemu dengannya. Kadang-kadang saya datang ke rumahnya hanya untuk berbincang-bincang sambil tertawa.


Hamid nampaknya berjuang keras untuk meraih nasib hidup yang lebih baik. Namun apa daya, seperti kata pepatah: Maksud hati memeluk gunung. Apa daya tangan tak sampai. Sampai wafat, dia hidup dalam keprihatinan, di tengah kerasnya perjuangan hidup di kota Jakarta. Suatu hari saya datang lagi bertandang ke rumahnya ketika saya telah menjadi Menteri Kehakiman dan HAM. Penduduk di gang kecil itu nampak heran dan tidak percaya ada menteri datang ke tempat itu. Mereka seakan tak percaya pula kalau Hamid yang telah lama tinggal di kampung itu adalah saudara sepupu saya. Seperti biasa, Hamid senang saya datang. Kami berbincang-bincang ke sana-kemari. Saya tanya Hamid, apa yang dia kerjakan sekarang. Sambil ketawa dia bilang, dia "narik bajaj". Dia lantas menunjuk sebuah bajaj setengah rongsokan yang di parkir di gang sempit di sebelah rumahnya. Saya tertegun melihat bajaj yang sudah hampir menjadi bangkai itu. Ada perasaan iba di hati saya. Bertahun-tahun saudara sepupu saya ini merantau ke Jakarta, namun nasibnya tak kunjung membaik. Dia telah berpindah-pindah kerja dan akhirnya menjadi supir bajaj. Sementara usianya makin bertambah tua saja.


Namun dalam penglihatan saya, Hamid nampak tidak terlalu hanyut dalam kesedihan dalam menjalani kesulitan hidup yang dideritanya. Saya yang menjadi menteri, meskipun mungkin nampak gagah di mata orang lain, kepala saya pusing setiap hari. Wajah saya tak nampak selalu cerah dan gembira. Hamid bercakap-cakap dengan saya menggunakan Bahasa Melayu Belitung, yang dialeknya sudah bercampur-aduk dengan Bahasa Betawi, sambil tertawa dan kadang-kadang melucu. Dia bercerita tentang kehidupan dan tentu berkisah tentang kesusahan hidup sebagai orang kecil, yang saya simak baik-baik. Semua itu adalah nasib yang harus diterima dengan sabar, katanya. Suatu ketika saya menyarankan kepadanya agar dia mencari rumah yang lebih baik, rumah BTN saja agar terjangkau. Saya dan saudara yang lain dapat membantu. Saya berpendapat, jika pindah, dia akan hidup lebih tenang di daerah yang jauh dari kebisingan dan hingar bingar. Dia bisa bikin warung untuk menjalani hari tuanya. Hamid rupanya mempertimbangkan saran saya. Dia sempat membeli rumah BTN yang katanya terletak di Kampung Citayam, di daerah Depok. Namun, tidak lama dia tinggal di situ. Dia lebih senang kembali ke gang kecil di Pintu Air. Banyak tetangga dan banyak teman yang sudah puluhan tahun tinggal bersama. Hingar-bingar dan kebisingan, serta kesesakan penduduk di daerah itu, rupanya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Dia tak betah tinggal di tempat sunyi, meski dalam pandangan saya, lebih asri dan tertata lebih baik.

Kini Hamid telah pergi. Seperti telah saya katakan, saya menyaksikan jenazahnya dimandikan dan dikafankan. Ia diusung ke pemakaman, dengan upacara yang sangat sederhana dan bersahaja. Ketika jasadnya diturunkan ke liang lahat, sekali lagi hati saya tertegun. Beginilah rupanya akhir perjalanan hidup di dunia yang fana ini. Semua orang, semua kita akan pergi seperti Hamid, tidak perduli apakah dia kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, punya jabatan dan nama yang masyhur atau bukan. Hidup ternyata terlalu singkat, walau terkadang kita merasakannya terlalu panjang. Saya teringat ketika saya belajar agama dan filsafat dan membahas masalah waktu. Usia 68 tahun seperti Hamid, mungkin sudah terlalu panjang dibandingkan rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia. Namun dalam pandangan para malaikat, usia Hamid mungkin hanya sekejap mata. Ada malaikat yang setiap hari turun naik dari langit ke bumi membawa rahmat Allah. Namun dijelaskan dalam keyakinan agama, bahwa satu hari malaikat turun-naik itu adalah sama dengan seratus ribu tahun dalam persepsi manusia di dunia fana. Kalau begitu ukurannya, maka tentulah di mata para malaikat, Hamid hidup hanya sekejap, begitu juga orang lain. Lalu saya teringat akan seekor belalang yang hidup di pohon nangka. Warna sayapnya mirip daun nangka yang masih muda. Konon, menurut para ahli biologi, belalang itu hidup tidak lebih dari 24 jam, dan kemudian mati. Waktu saya kecil, saya berkata di dalam hati: kasihan sekali dengan belalang ini, usianya begitu pendek. Tetapi, kalau ingat tentang turun-naiknya malaikat tadi, mungkin para malaikat akan berkata: kasihan sekali melihat manusia, hidup mereka pendek sekali. Sehari kami turun naik dari langit ke bumi, telah jutaan manusia lahir dan mati. Persepsi tentang waktu nampaknya berbeda di antara makhluk ciptaan Allah. Cukup panjang bagi belalang nangka, sangat pendek bagi manusia. Sangat panjang bagi manusia, terlalu pendek bagi para malaikat.
*******
Kematian Hamid Baharum, saudara sepupu saya itu, makin menyadarkan saya bahwa suatu ketika sayapun akan dikuburkan orang seperti dia. Semua hanyalah masalah waktu belaka. Kalau memang demikian keadaannya, saya berpikir, untuk apalah terlalu "ngotot" dalam kehidupan yang fana ini. Tentu kita ingin berbuat amal-kebajikan sebanyak mungkin selama kita hidup, agar bukan saja bermanfaat bagi sesama manusia dan sesama makhluk, tetapi juga sebagai bekal menjalani kehidupan akhirat kelak. Namun, meskipun kita selalu berniat dan beriktikad baik -- dan dalam kenyataan kita sungguh-sungguh mewujudkannya dengan segenap kemampuan -- toh belum tentu baik juga dalam pandangan manusia-manusia yang lain. Hidup manusia dipenuhi oleh perasaan hasad, iri hati, dengki, curiga dan salah paham. Namun itulah kenyataan hidup yang tak dapat ditolak. Seribu kebaikan yang kita lakukan, terasa hampir tak berbekas, dan alangkah mudahnya dilupakan orang. Namun satu saja kesalahan yang mungkin telah kita buat, akan dihujat setiap hari. Mungkin pula kesalahan itu akan dikenang orang sepanjang masa. Apalagi sekarang kita sedang hidup di alam penuh kebebasan berekspressi dan kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat. Kita tengah hidup di alam demokrasi dengan segala macam tingkat pemahaman dan penafsirannya.
Kalau demikian, haruskah saya berhenti berniat dan beriktikad baik dan berbuat baik di alam nyata? Saya pikir tidak. Seringkali orang tidak menyadari kebaikan dan juga kebenaran. Mereka baru menyadarinya jauh di belakang hari. Bahkan terasa sudah begitu terlambat. Kebaikan tetaplah kita lakukan demi kebaikan itu sendiri, agar kita ikhlas dalam beramal dan batin kita merasa terpuaskan. Kepuasan batin itu penting, walau kenyataan hidup seringkali terasa menyakitkan. Kalau kita banyak berbuat baik kepada orang lain, lebih baik kita melupakannya. Tetapi kalau orang lain berbuat baik kepada kita, wajiblah kita terus mengingat-ingatnya. Semoga saya, menjadi orang yang pandai menghargai segala kebaikan orang lain, dan memaafkan setiap kesalahan dan kekhilafan.
Wallahu 'alam bissawab.



39 komentar:

Desy Yusnita mengatakan...

Baca postingan ini seraya ku sambil berdoa semoga sewaktu pemakaman kakek ku setahun yang lalu 40 orang yang hadir juga berpikiran beliau adalah orang baik, amin. Agar senantiasa dibukakan pintu surga baginya.

Om Yuzril bagaimana kalo di blognya dipasang koment box gitu bisa diambil dari aggix.com atau banyak lagi yang lainnya. Tetep semangat nge blognya ya....

nismara1 mengatakan...

Pak Yusril, saya turut berduka atas berpulangnya saudara Bapak yang sesuai penuturan Bapak dapat saya simpulkan bahwa orangnya sangat qona'ah, menerima apapun yang diberikan dengan ikhlas dan senang. Dia hidup sederhana dan malah cenderung kurang, tapi dia tidak mau meminta belas kasihan oang lain, termasuk saudara sepupunya yang jadi menteri. Apabila sifat itu selalu dijadikan pegangan dan sandarannya adalah Allah, saya yakin dunia akan tentram.

Selamat jalan Pak Bahrum, semoga segala amal baik diterima oleh Allah s.w.t.

dwee mengatakan...

Saya turut bela sungkawa atas meninggalnya saudara sepupu Pak Yusril.
Semoga segala amal perbuatan baik Pak Bahrum diterima Allah dan dibukakan pintu surga bagi beliau.

Membaca tulisan Pak Yusril membuka perenungan bagi diri saya. Terima kasih telah berbagi, Pak.

sepenggaljejak mengatakan...

Pak Yusril, saya juga baru nge-blog nih, pak. Saya baca publikasi blog anda di banyak media, makanya saya coba-coba melihat isinya.
Sesekali Pak Yusril, anda harus mengisahkan pengalaman anda bekerjasama dengan presiden-presiden RI sejak masanya Presiden Suharto sampai Presiden SBY. Sekali-sekali mampir juga ke blogku yang masih sangat sederhana.

rudi.ruru mengatakan...

Bismillahirrahmanirrahiem.
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Innalillaahi Wa Inna Ilaihi Raaji'uun. Segala sesuatu adalah milik Allah SWT, dan (pasti) semua itu akan berpulang pada-Nya.
mmm..Abangku, membaca postingang abang ini, serasa hatiku teringat kembali pada ayah yang meninggal pada hari kamis 03 November 2005 lalu pada saat kumandang adzan maghrib dan bertepatan dengan Iedul Fitri 1426H.
Sedih rasanya hati ini bang, namun saya yakin apa yang telah beliau lakukan untuk saya sebagai salahsatu putra yang dititipkan Allah kepadanya, saya berharap Allah akan memberikan tempat yang sangat layak (Jannatun Na'im) bagi beliau.
Betapa tidak, dengan sembilan anak yang harus beliau tanggung, namun pendidikan dan budipekerti adalah hal yang paling utama beliau ajarkan.
Beliau sangat berharap anak-anaknya kelak akan menjadi orang yang berguna minimal bagi lingkungan sekitarnya dan atu bahkan bagi umat manusia keseluruhan.
Secara pribadi, saya sangat bangga dengan ayah saya, bagaimana tidak, hingga akhir hayatnya saja beliau masih saja menanyakan masa depan pendidikan si Bungsu adikku (anak ke 9) yang kala itu baru saja wisuda D3 dari STT TELKOM.
Bagi beliau, pendidikan adalah warisan utama yang dapat menghidupi dan menyinari kehidupan anak-anaknya. Meski ketika kecil dulu, sebagai seorang bocah kadang saya merasa jengkel atau sakit hati kalau ayah marah-marah apabila prestasi saya di sekolah menurun.
Pernah suatu ketika saya dipukul menggunakan sabuk kulit beliau hanya gara-gara saya telat mengikuti pengajian rutin remaja di Masjid dekat rumah.
Saat itu hati saya merasa sakit sekali, betapa tidak, umur saya yang saat itu telah mencapai 17 tahun tentulah malu rasanya jika harus menerima bentakan dan pukulan apalagi itu dilakukan didepan teman-teman kuliah saya.
Namun, akhirnya kini baru saya sadari, betapa ayah adalah sosok orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya. (maaf kalo saya menangis ketika membuat tulisan ini).
Saya baru merasakan begitu berharganya apa yang telah ayah tanamkan kepada anak-anaknya. Saat ini saya telah menjadi salahsatu aktivis Partai yang pernah abang pimpin (PBB) di kota Bandung.
Tidak hanya itu, saat inipun dengan usia yang masih cukup muda saya telah menjadi salah satu orang yang sering diajak berbincang dan berdiskusi oleh Walikota Bandung dalam hal kondisi sosial, politik, dan ekonomi kemasyarakatan di kota kami. Belum lagi pekerjaan mapan yang telah saya dapatkan di sebuah perusahaan BUMD di Bandung.
Tentu semuanya adalah berkat kerja keras Ayah dan Ibu yang senantiasa setia mendampingi putra-putranya dalam suka maupun duka, senang ataupun susah.
Yaa Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua Orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi aku tanpa pamrih. Amien.
Wassalam. Rudi Chaerudin, A.Md. (Ketua PAC PBB Kec Kiaracondong Kota Bandung & Ket. Bag. Politik & Otda DPC PBB Kota Bandung).

Gede mengatakan...

Salam.

Saya ragu, apakah betul blog ini dikelola oleh Pak Yusril dari Partai Bulan Bintang itu. Sebab, karakter artikelnya tidak seperti yang sering saya baca di majalah Tempo pada dekade 1980-an.

Mohon Pak Yusril bisa memberikan konfirmasinya lewat media massa atau lewat blog ini dengan menampilkan profilnya yang sejati.

Selama tidak ada hal tersebut, saya malah curiga blog ini menjadi "batu" berat yang menenggelamkan Pak Yusril.

Salam.

Gede H. Cahyana
http://gedehace/blogspot.com

aLe mengatakan...

Turut berduka cita :)

andiana mengatakan...

Innalillaahi wa inna ilahi rajiiuun, turut berduka cita ya Pak! Postingan ini mengingatkan saya pada almarhum bapak dan almarhumah ibu saya. Kita memang akan pergi secara bergiliran...

Pak, tambahin foto dan Shout Box ya? Biar bisa saling interaktif gitu. Dan biar yakin bahawa blog ini memang punya Bapak (kalau saya sih insya Allah yakin ini blog Bapak Yusril ;) ). Sukses!

dewee mengatakan...

selamat pak yusril atas peluncuran blog nya..... ditunggu tulisan berikutnya pak, mungkin ke depan tulisan-tulisan bapak termasuk yang dulu-dulu bisa dikumpulkan dalam sebuah buku...

Tipsduniaanak.com mengatakan...

innalillahi wainnalillahi roji'un
turut berduka cita ya pak, setelah membaca tulisan bapak, sangat terharu dan itu semua mengingatkan kita akan kematian dan kita memang pasti kembali kepada-Nya....

ya betul pasang shout box ya pak...biar lebih rame

Tipsduniaanak.com mengatakan...

selamat datang ya pak di dunia blog...sebenernya saya penasaran ketika tadi baca koran tribun Jabar...pas dihalaman depan membahas blognya bapak, karena penasaran saya mampir kesini...alhamdulillah ketemu!!!

Unknown mengatakan...

turut berduka cita ya bang..
mudah2an, saudara abang dipertemukan dengan para kekasih Allah...

hidup memang sekedar gurau, setelah kita meninggal, itulah hidup sebenarnya.

Unknown mengatakan...

untuk gede h. cahyana,
silakan lihat di http://priyadi.net, disitu ada laporan pertemuan para blogger dengan bang yusril, setelah sebelumnya terjadi dugaan2 bahwa ini hanya sekedar karakter palsu di dunia maya.

dedi mengatakan...

assalamu'alaykum Ustad Yusril, dan inna lillahi wa inna ilayhi raji_un buat engku hamid.
Kalau membaca tulisan Anda, Prof, kesannya Anda soleh dan santun. Tapi sebagai wartawan, beberapa kali ketemu Anda langsung, saya berpendapat bahwa anda kadang menyenangkan, kadang sombong. Maaf, mungkin karena itulah Anda dimusuhi wartawan. Jadi jangan marah, ini koreksi dari seorang pengagum setia.

aboh mengatakan...

semua yang bernyawa pasti akan mati. alamiah saja. masalahnya bagaimana menjalani hidup karena itu cerminan kehidupan setelah "hidup" berakhir.

inalillahi waina ilaihi roji'uun. semoga apa yang bapak gambarkan tentang almarhum, benar adanya. dan benar juga menurut Allah. sehingga beliau mendapat tempat terbaik di akhirat.

selamat atas blognya pak!

Tulisan bapak saya tunggu lagi. cerita / kisah / fikiran2 yang bertebaran selama menjadi menteri sekian periode, tentunya sangat berguna bagi bangsa ini.

bravo YIM!

mukus mengatakan...

Kehidupan didunia ini adalah hanya bagian dari suatu perjalanan yang belum kita selesaikan, seperti seorang pengembara yang sedang melakukan perjalanan menuju suatu tempat yang diimpikannya.

Banyak cerita suka dan duka, tangis dan tawa yang menghiasi perjalan ini dan semua itu memang harus jalani.

Banyak sekali tantangan dan godaan yang mengganggu perjalan ini sehingga terkadang ada rasa keputusasaan dalam menempuh perjalanan ini, namun ketika kita Istiqamah pada aturan yang telah ditetapkan oleh yang membuat perjalanan Insya Allah kita akan selamat sampai tujuan dengan penuh kebahagian.

Kita berharap semoga perjalan hidup kita yang singkat ini dapat kita jalani dengan baik yang dapat menghasikan kebaikan untuk diri kita juga untuk orang lain dan ingat sang waktu terus medorong kita menuju titik terakhir perjalan ini.

artja mengatakan...

Saya turut berduka cita.
Semua yang bernyawa memang akan mati. Tidak terkecuali kita.

"Dan cukuplah kematian sebagai peringatan," begitu sabda Nabi. Maka kita selalu harus mengingatkan diri sendiri bahwa kelak kita akan mati.

Semoga saja pada saat mati dan dikubur kelak, orang-orang yang mengantar kita di kuburan akan memberi konfirmasi positif ketika diajukan pertanyaan tentang kebaikan kita. Amin.

Yusril Ihza Mahendra mengatakan...

Assalamu'alaikum,

Sejak tulisan ini saya muat tadi pagi, telah ada 17 bloger yang memberikan tanggapan. Secara umum, saya berterima kasih atas semua tanggapan itu. Terima kasih pula atas ucapan duka cita atas wafatnya saudara sepupu saya, yang telah saya ceritakan dengan panjang lebar. Semoga setiap kematian, akan menyadarkan kita semua, bahwa suatu ketika kitapun akan mati juga.

Saran Sepenggal Jejak agar saya menulis tentang pengalaman bekerja di bawah beberapa Presiden RI, saya sambut baik. Kapan-kapan memang saya ingin menulis hal itu, untuk menambah wawasan kita semua.

Untuk Gede Cahyana, mohon Anda mengikuti kontroversi masalah ini di blog Jay, Priyadi dan Vavai, serta yang lainnya. Kontroversi tentang saya, telah diselesaikan dengan baik, setelah berbagai "test" dilakukan terhadap saya. Teman-teman telah "ainul yaqin" dan "haqqul yaqin" setelah bertemu secara langsung dengan saya di Billiton Bistro. Beberapa koran Jakarta, juga sudah mengkonfirmasi kesahihan blog saya ini.

Untuk Aditya, saya ucapkan terima kasih dan rasa hormat saya atas tanggapan dan kritik yang disampaikan. Saya pribadi sebenarnya amat bersahaja dan selalu bersikap terbuka. Pengalaman saya menghadapi wartawan di era keterbukaan sekarang ini, memang jauh beda dengan "zaman dahulu". Kalau wartawan bertanya baik-baik, saya dengan senang hati akan menjawab dan menjelaskan dengan baik-baik pula apa yang mereka tanyakan. Masalahnya, saya seringkali bertemu dengan wartawan yang mengajukan pertanyaan dengan gaya interogasi, dan menghakimi orang yang ditanya. Menghadapi hal seperti ini, kadang-kadang saya kesal juga. Pertanyaan yang diajukan sudah tidak bermutu, tetapi sok tahunya minta ampun.

Ketika saya mahasiswa saya pernah mengikuti pendidikan kewartawanan. Saya pernah jadi wartawan paruh waktu. Sebelum saya bertanya kepada seseorang, biasanya saya pelajari dulu masalahnya. Ada wartawan "zaman sekarang" yang mungkin tidak pernah mendapat pendidikan kewartawanan, sehingga bertanya nampak tidak profesional. Ketika saya jadi Mensesneg, saya mengdapi "wartawan Istana" yang semestinya sudah tergolong wartawan yang handal. Namun, kadang-kadang gaya interogasi, sok tahu dan menghakimi mereka ajukan kepada saya. Saya mohon maaf atas semua ini. Marilah kita saling melakukan koreksi, demi kebaikan kita bersama. Sekali lagi, terima kasih banyak atas masukan dan komentar Anda.

WishNoize mengatakan...

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun...
Turut berbela sungkawa...

J U D I T H mengatakan...

Assalamualaikum W.W..
Saya mengetahui keberadaan blog ini setelah membaca koran, dan saya sangat penasaran.

Sekarang rasa penasaran saya terjawab. Tulisan Bapak sungguh indah, dalam menggambarkan segala situasi yang dialami dalam kehidupan Bapak.

Saya juga mengucapkan turut berduka cita atas kehilangan yang baru saja dialami, semoga amal ibadah almarhum diterima disisinya.

koolsonic mengatakan...

saya turut mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya untuk sepupu bapak yusril. kiranya arwah beliau diterima disisiNya dan segala kesalahan beliau diampuni. Kita semua berasal dari tanah..pada akhirnya akan kembali ke tanah pula..
Setiap kita punya waktu didunia dimana waktu tersebut seluruhnya sangat berharga dan amat sayang jika terbuang sia-sia. menurut saya kita harus berbuat yang terbaik semampu kita didalam kehidupan kita supaya bilamana kita akan berpulang kepadaNya, tiada yang kita sesali dan kita berbahagia karena pernah merasakan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita.

Best regards,
Ika

Samarudin Hormin mengatakan...

Hidup adalah perjuangan. Perjuangan adalah upaya menggapai cita-cita. Cita-cita adalah keinginan, dan keinginan manusia tidak sama. Apa yang saudara Bang Yusril alami mungkin itu adalah kebahagiaan baginya.
Untuk bang Yusril, berjuanglah sesuai dengan cita-cita luhur. Sekian dan Terima kasih. Salam dari Saya di Bangka

jebee mengatakan...

Jebee

Apakah baru kini bapak sadari "Akhirnya Semua Kita akan Pergi"?? setelah terjungkal dari empuknya kursi kabinet ??
Sekiranya bapak masih bersandar dikursi kabinet itu, apakah kalimat meyentuh ini masih terselip dikalbu sanubari ??

"Akhirnya semua kita menyadari"
tapi sayang kesadaran itu muncul bukan diawal mengabdi......

jebee mengatakan...

jebee

sekali lagi bukan maksud saya berapriori,
"ketika bapak masih berada dlm lingkaran kekuasaan, apakah bapak tidak pernah menengok orang meninggal dan mengantarkannya kepemakaman" ?? pasti pernah bukan ?? apakah saat itu bapak menyadari bahwa "akhirnya semua kita akan pergi"??
pasti sadar bukan ??
tetapi mengapa bapak tidak menyapa khalayak bangsa dengan renungan semacam itu ?? pasti juga ada bukan ??
tetapi mengapa ada tindakan bapak dikaitkan dengan kasus tomy soeharto dan kasus lainnya yang cukup heboh buat anak negeri ini...
tetapi mengapa bapak diam, ketika diberhentikan dari kursi kabinet ?? bukankah itu menyangkut harkat dan harga diri ?? mana hak pembelaan diri bapak selaku orang yang berlatar belakang hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan HAM ??
walau bapak tidak menghendaki lagi kursi dikabinet, tetapi paling tidak bapak bisa menunjukkan ke khalayak bahwa bapak tidaklah sekotor itu, sehingga harus sampai diberhentikan.
saya pikir presiden juga tidak segabah itu memberhentikan bapak, apalagi bapak merupakan salah satu tim sukses yang paling dekat dengan SBY dimasa kampanye, jika perbuatan bapak dianggapnya tidak bisa ditolerir lagi dalam sebuah tim kerja.

bukan maksud saya menghakimi, tetapi kesannya tulisan bapak tentang "akhirnya semua kita akan pergi" hanya sebuah ungkapan penghibur diri.........
entahlahhhh.......

mfd mengatakan...

aku mo ucapin "selamat atas terbitnya blog Bang Yusril"......
semoga bermanfaat yach........

suatu kegiatan yang unik, yang diambil setelah segudang ato segunung kegiatan yang penuh birokrasi terhenti....

ini sangat positif......

Unknown mengatakan...

Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun

abuyahya mengatakan...

Assalaamu'alaikum wa rahmatulLaahi wa barakaatuh

Selamat atas Blognya, Pak! Saya sendiri juga baru belajar nulis blog.

Saya tahu dan yakin ini blognya Pak Yusril dari blog Mas Priyadi.

Tentang komentar yang menyudutkan, jangan terlalu diambil hati, Pak!
Salah satu "cobaan" penulis blog adalah turun semangat. Yang penting ... keep on moving forward deh, Pak!

Turut berduka cita, baik tentang musibah kematian keluarga maupun musibah "lengser" ;). Tapi bagaimana pun, salah satu rukun iman yang harus kita yakini adalah beriman pada Takdir. Sedangkan Allah SWT. menakdirkan seluruh kejadian di alam ini justru sebagai ujian keimanan serta keikhlasan agar kita tidak putus asa dan tidak sombong (Q.S. 4:79, 57:22-23, dan 64:11).

Semoga Pak Yusril tetap istiqaamah sampai mendapatkan husnul khaatimah. Aamien.

Wassalaamu'alaikum wa rahmatulLaahi wa barakaatuh

Sutomo, M.Sc. mengatakan...

Pak Yusril, saya sangat setuju dengan apa yg pak yusril tulis. Alangkah fana nya dunia ini dan ruang dan waktu hanyalah persinggahan sementara ke alam yang kekal.Tetap semngat menulis pak, saya tunggu postingan berikutnya. Salam kenal

http://myjourneys-tommo.blogspot.com

PLeRZ mengatakan...

Inna Lillaahi Wa Inna Ilaihi Ro'Jiun, cepet cepet dimakamkan itu rasanya bukan berdasarkan hadist dech. Rasulullah pun Meninggal hari senin baru Rabu dimakamkan .... Cepat cepat Dimakamkan itu lebih cocoknya karena berdasarkan dalil AQLI ( Akal sehat ) aja. Tolong koreksi jika salah ....

semar.mesem.88 mengatakan...

Profesor yang serba bisa! maaf boleh dijelaskan kenapa anda bersedia jadi bintangfilm Chenhoo?
Maaf,waktu itu sbg pejabat tinggi negara,tentu anda sadar,bhw perkawinan baru akan menimbulkan pro-kontra atau risiko politik?,kemudian apa alasan yg membuat anda tetap mengambil keputusanya?
Pasal 50 ayat (a) UU No.1/2004 tentang perbendaharaan negara berkata :Uang milik negara/daerah yang ada diinstansi pemerintah dan pihak ketiga dilarang dilakukan penyitaan: akibatnya kalau ada sengketa antara negara/daerah dengan pihak ketiga, maka putusan pengadilan tidak bisa dieksekusi karena ada halangan pasal itu, apakah anda bisa memberitahukan latar belakang dan tujuan pasal itu ? dan apakah pasal itu melanggar UUD1945 yang menyatakan NKRI sebagai negara hukum, sehingga putusan pengadilan seharusnya merupakan putusan tertinggi dalam penyelesaian sengketa masalah hukum ?

Mohon tanggapan anda, terimakasih

Semoga sukses dikehidupan yang baru dan lebih menarik itu.GBU always.amin

Anonim mengatakan...

Hmm...sebuah tulisan yang sangat panjang Saya ingin menggaris bawahi mengenai ...filosofi ajaran Islam bahwa jasad manusia berasal dari tanah. Karena itu, kembali ke tanah seperti semula jasad hanya dibalut kain kafan...Esensinya adalah Allah SWT ingin mensejajarkan harkat derajat dan martabat manusia diantara sesamanya, yang membedakan adalah iman dan taqwa. Sehingga tak sepatutnya manusia sombong, takabur dan berlebih-lebihan dihadapan manusia lainnya. Ada perasaan bathin yang sensitif terutama terhadap kaum kecil dan lemah yang otomatis memperkecil atau menghilangkan jurang pemisah antara sikaya dan si miskin, pejabat dan masyarakat. Pejabat sebagai pelayan masyarakat, bukan untuk dilayani masyarakat.

Rudi Sudardjat
http://mewangi.blogspot.com/

parto_sentono mengatakan...

assalaamu'alaikum bang yusril.
senang sekali akhirnya ketemu blognya pak yusril :D tetap semangat pak...saya lebih percaya dengan yang ditulis disini dari pada yang ada di media massa :D

semar.mesem.88 mengatakan...

terimakasih atas kerjasamanya selama ini.

hery mengatakan...

Ass wr wb

Terimakasih bang Yusril atas tulisannya. Sangat menyentuh dan manusiawi sekali.... Mengingatkan tentang perjalanan hidup almarhum Ayah dan saya sendiri

komunitasku mengatakan...

Sy Pendukung Anda, Almarhum Bapak Sy pengikut setia Guru dan Pro Bapak, Insya Allah dengan dukungan ini RINDU sy thd Baginda SAW, SANG pembawa syariat kita, senantiasa mencair, jaya terus Pa yusril mengusung amanat kejayaan kita, Sy yakin pelajaran hidup telah dicerna semua orang, yaitu masa bodoh berakibat dibodohi, tersadarlah sehingga membuat si pembodoh kebakaran jenggot, mudah2an semua jemu dengan suasana ini, semua kembali kepada lingkaran Al Muqiit Yang Maha Memberi Kecukupan, dalam hati dan peran hidup di dunia, bersinarlah Alam akhirat, kiranya kita semua menjadi satu haluan, Amin. Izzul Islam wal muslimin

octavianus mengatakan...

Bang Yusril yang saya kagumi selamat malam,memang hidup tak ada yang pasti kecuali kematian, hingga saya ingat kata bijak teman * Hidup adalah menguntai tawa dan air mata,mereka yang tabah ketika mendapat musibah dan bersyukur ketika mendapat kebaikan. Dalam susah senangnya selalu jadi kebaiakan. Tapi orang kita sudah banyak menganut faham Al Wahn yang cinta dunia dan takut mati, mencintai duniawi, dan haus kekuasaan, seperti ada yang salah pada orang orang kita sekarang gimana komentar Abang. Thanks

abdurrohimmahfudz@gmail.com mengatakan...

Asslmkm,,, pertama saya turut berduka atas meningglnya keluarga bang yusril mudah2 amal dan ibadahnya di terima allh swt amien,,,,kedua sya memprknalkan kapada blog bang yusril ini karena saya sangat mengidolakan anda
saya dari Indramayu jabar ,bagaimana dengan perkembagan PBB bang,,kami merindukanmu,,,
saya kader PBB yang terpendam,,dan militan mudah mudahan PBB makin jaya

abdurrohimmahfudz@gmail.com mengatakan...

ASSLMKM,,,,,BANG YUSRIL SEMANGAT....

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Pak Profesor Yusril Mahendra tetap semangat dan sukses selalu ya