Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Minggu pagi tanggal 11 November 2007, saya diberitahu oleh kakak saya, salah seorang saudara sepupu saya, Abdul Hamid bin Baharum, telah berpulang ke rahmatullah, setelah seminggu menderita sakit. Mendapat kabar itu, saya langsung bergegas menyetir mobil datang ke rumahnya di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Ketika tiba, saya menyaksikan jenazahnya yang terbaring kaku sedang dimandikan. Saya menunggui sampai jenazah dikafani dan kemudian disholatkan di sebuah mushalla kecil tidak jauh dari rumahnya. Selesai dishalatkan, sejumlah orang membawa jenazah ke sebuah ambulan. Mereka semua berangkat ke pemakaman umum karet. Jenazahpun dimakamkan. Ada dua orang memakai peci dan kain sarung dan berbaju batik membaca talqin dan kemudian berdoa bersama-sama.
Sebagai saudara dekat, saya diminta untuk menyampaikan sambutan. Setelah menyampaikan ucapan terima kasih, mohon doa dan mohon maaf bagi almarhum, saya mengutip salah satu peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. Suatu ketika Rasulullah menyaksikan sekelompok orang membawa jenazah ke pemakaman. Rasulullah bertanya, jenazah siapakah yang akan dimakamkan itu. Maka salah seorang dari mereka menjawab bahwa itu adalah jenazah si Fulan. Rasulullah kemudian bertanya kepada mereka: Adakah si Fulan itu, selama hidupnya dikenal sebagai orang yang baik. Mereka serentak menjawab: Kami menyaksikan, ya Rasul Allah, si Fulan itu memang orang baik. Maka bersabdalah Rasulullah: Jika jenazah seseorang di usung ke pemakaman, dan 40 orang mengatakan bahwa dia adalah orang baik, maka Allah SWT akan memasukkan ruh orang itu ke dalam surga. Kemudian, saya bertanya kepada hadirin yang hadir di pemakaman: Adakah Saudara-saudara semua menyaksikan bahwa semasa hidupnya, Abdul Hamid bin Baharum ini adalah orang yang baik? Maka serentak para hadirin menjawab: Ya, beliau orang yang baik. Maka saya berkata: Ya Allah, ampunilah saudara kami ini kalau dia melakukan kesalahan. Terimalah segala amal kebajikan yang telah dilakukannya. Masukkanlah dia ke dalam surga Jannatun Na'im.
Selesai upacara pemakaman yang amat bersahaja itu, istri saya yang ikut ke pemakaman Karet bertanya kepada saya. Dia katakan dalam Bahasa Inggris, Pak Hamid yang baru meninggal tadi pagi, mengapa begitu cepat dimakamkan. Di Jepang atau di Philipina, katanya, jenazah baru dimakamkan beberapa hari, bahkan seminggu setelah kematian. Tadi juga saya melihat, ketika imam membaca do'a, mengapa orang yang hadir tidak mengikutinya dengan serius. Mereka saling ngobrol sesamanya. Isteri saya bertanya demikian, karena seumur hidupnya, inilah untuk pertama kalinya dia bertakziah ke rumah seorang Muslim yang meninggal dan mengikuti upacara pemakaman. Dia baru memeluk agama Islam setahun lebih. Sambil menyetir mobil saya jelaskan kepadanya, bahwa dalam ajaran Islam, orang meninggal harus segera dimakamkan. Tidak perlu menunggu lama-lama karena hanya akan memberatkan ruh orang yang meninggal.
Jika seseorang telah wafat, maka selesailah urusannya dengan dunia ini, kecuali tiga hal, yakni ilmu yang bermanfaat dan diajarkan kepada orang lain, amal jariah dan anak yang soleh yang terus-menerus mendoakan orang tuanya. Jika telah wafat, kita harus merelakannya untuk pergi menemui sang Pencipta. Keluarga si meninggal, tidak boleh tenggelam dalam kesedihan, karena setiap orang pasti akan mati. Karena itu, jika anak-anak dan isteri si mati telah hadir, maka kaum kerabat yang lain tak perlu ditunggu lama-lama. Jenazah akan segera dimakamkan. Isteri saya nampak mengerti. Dia berkomentar, alangkah sederhananya upacara pemakaman menurut agama Islam. Dia berdiri di sisi liang lahat dan melihat jenazah diturunkan hanya memakai kain kafan, tanpa kerenda dan dia bertanya tentang hal itu. Saya katakan padanya, ini adalah filosofi ajaran Islam bahwa jasad manusia berasal dari tanah. Karena itu, kembali ke tanah seperti semula. Terhadap kritiknya mengapa hadirin kurang khusyu' ketika pembaca talqin membaca do'a, saya menerima kritik itu. Saya sependapat dengannya, alangkah baiknya jika kita mengikuti upacara pemakaman dengan perasaan yang lebih khidmat.
*******
Sejak saya datang ke rumah saudara sepupu saya yang wafat itu, saya sungguh merasa sedih, terharu dan berpikir panjang. Rupanya, hari ini berakhirlah kisah perjalanan seorang anak manusia, setelah melalui lautan perjalanan hidup yang cukup panjang. Dia wafat dalam usia 68 tahun. Hamid Baharum yang saya kenal, memang orang baik, sederhana dan bersahaja. Dia bersekolah di sebuah sekolah teknik di Manggar, Belitung, yang cukup menjadi kebanggaan masyarakat Belitung yang sederhana di masa itu. Sekolah itu telah ada sejak tahun 1928, ketika bangsa kita masih dijajah, dan bernama Ambach School (maaf kalau saya salah menulis kata Bahasa Belanda ini). Orang Belitung yang pada umumnya hidup miskin dan bersahaja, sangatlah bersuka-cita kalau anaknya diterima di sekolah itu. Bayangkan, baru menjadi murid saja sudah dianggap setengah pegawai oleh PN Tambang Timah. Kalau tamat akan langsung diangkat sebagai pegawai tetap perusahaan negara itu, dengan gaji dan fasilitas yang lumayan besarnya bagi orang di kampung. Tiap bulan murid sekolah itu mendapat setengah gaji pegawai tetap, mendapat beras 10 kilo, dan berbagai ransum keperluan sehari-hari mulai dari kacang hijau, gula, kopi, minyak goreng sampai sabun mandi, odol dan sikat gigi. Begitu suka citanya orang tua ketika anak mereka diterima, dapat saya ingat ketika saya masih kecil: ada tetangga kami yang tiba-tiba menyelenggarakan kenduri. Ayah saya diundang untuk membaca do'a. Saya tentu ikut ayah saya agar dapat makanan dengan lauk-pauk yang lebih enak, dibandingkan dengan apa yang saya makan sehari-hari. Setelah tiba di rumah tetangga itu, barulah saya tahu, beliau menyelenggarakan kenduri karena anaknya diterima di sekoah teknik tempat Hamid Baharum pernah bersekolah itu.
Tetapi, Hamid Baharum rupanya tidak puas hanya sekolah di sekolah teknik itu, dan kurang puas pula menjadi pegawai PN Tambang Timah dengan gaji yang lumayan besarnya. Dia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya ke STM. Dia ingin mengadu nasib. Saya tidak ingat persis kapan dia hijrah ke Jakarta. Mungkin sekitar tahun 1958. Ketika itu saya baru berusia dua tahun. Jadi mustahil untuk tahu dan mengingatnya. Namun rupanya nasib Hamid tidaklah sebaik yang dia harapkan. Setelah tamat STM dia bekerja di berbagai perusahaan swasta sebagai pegawai kecil. Rumahnya sangat sederhana. Dia tinggal di perkampungan yang terbilang kumuh di sebuah gang kecil di Jalan Pintu Air, tidak jauh dari stasiun kereta api Pasar Baru. Ketika saya telah menjadi mahasiswa dan tinggal di Jakarta, saya berusaha mencari rumah Hamid. Pernah saya berjalan kaki dengan almarhum ayah saya mencari rumahnya dan bertanya kepada penduduk di sekitar Jalan Pintu Air. Namun usaha saya sia-sia. Saya tak berhasil menemukan rumahnya. Alamatnya tidak terlalu jelas. Saya baru bertemu Hamid, setelah lebih sepuluh tahun saya tinggal di Jakarta. Dia membaca nama saya di koran-koran dan melihat wajah saya di televisi, lalu berusaha mencari alamat saya sampai akhirnya kami bertemu. Sejak itu saya sering bertemu dengannya. Kadang-kadang saya datang ke rumahnya hanya untuk berbincang-bincang sambil tertawa.
Hamid nampaknya berjuang keras untuk meraih nasib hidup yang lebih baik. Namun apa daya, seperti kata pepatah: Maksud hati memeluk gunung. Apa daya tangan tak sampai. Sampai wafat, dia hidup dalam keprihatinan, di tengah kerasnya perjuangan hidup di kota Jakarta. Suatu hari saya datang lagi bertandang ke rumahnya ketika saya telah menjadi Menteri Kehakiman dan HAM. Penduduk di gang kecil itu nampak heran dan tidak percaya ada menteri datang ke tempat itu. Mereka seakan tak percaya pula kalau Hamid yang telah lama tinggal di kampung itu adalah saudara sepupu saya. Seperti biasa, Hamid senang saya datang. Kami berbincang-bincang ke sana-kemari. Saya tanya Hamid, apa yang dia kerjakan sekarang. Sambil ketawa dia bilang, dia "narik bajaj". Dia lantas menunjuk sebuah bajaj setengah rongsokan yang di parkir di gang sempit di sebelah rumahnya. Saya tertegun melihat bajaj yang sudah hampir menjadi bangkai itu. Ada perasaan iba di hati saya. Bertahun-tahun saudara sepupu saya ini merantau ke Jakarta, namun nasibnya tak kunjung membaik. Dia telah berpindah-pindah kerja dan akhirnya menjadi supir bajaj. Sementara usianya makin bertambah tua saja.
Namun dalam penglihatan saya, Hamid nampak tidak terlalu hanyut dalam kesedihan dalam menjalani kesulitan hidup yang dideritanya. Saya yang menjadi menteri, meskipun mungkin nampak gagah di mata orang lain, kepala saya pusing setiap hari. Wajah saya tak nampak selalu cerah dan gembira. Hamid bercakap-cakap dengan saya menggunakan Bahasa Melayu Belitung, yang dialeknya sudah bercampur-aduk dengan Bahasa Betawi, sambil tertawa dan kadang-kadang melucu. Dia bercerita tentang kehidupan dan tentu berkisah tentang kesusahan hidup sebagai orang kecil, yang saya simak baik-baik. Semua itu adalah nasib yang harus diterima dengan sabar, katanya. Suatu ketika saya menyarankan kepadanya agar dia mencari rumah yang lebih baik, rumah BTN saja agar terjangkau. Saya dan saudara yang lain dapat membantu. Saya berpendapat, jika pindah, dia akan hidup lebih tenang di daerah yang jauh dari kebisingan dan hingar bingar. Dia bisa bikin warung untuk menjalani hari tuanya. Hamid rupanya mempertimbangkan saran saya. Dia sempat membeli rumah BTN yang katanya terletak di Kampung Citayam, di daerah Depok. Namun, tidak lama dia tinggal di situ. Dia lebih senang kembali ke gang kecil di Pintu Air. Banyak tetangga dan banyak teman yang sudah puluhan tahun tinggal bersama. Hingar-bingar dan kebisingan, serta kesesakan penduduk di daerah itu, rupanya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Dia tak betah tinggal di tempat sunyi, meski dalam pandangan saya, lebih asri dan tertata lebih baik.
Kini Hamid telah pergi. Seperti telah saya katakan, saya menyaksikan jenazahnya dimandikan dan dikafankan. Ia diusung ke pemakaman, dengan upacara yang sangat sederhana dan bersahaja. Ketika jasadnya diturunkan ke liang lahat, sekali lagi hati saya tertegun. Beginilah rupanya akhir perjalanan hidup di dunia yang fana ini. Semua orang, semua kita akan pergi seperti Hamid, tidak perduli apakah dia kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, punya jabatan dan nama yang masyhur atau bukan. Hidup ternyata terlalu singkat, walau terkadang kita merasakannya terlalu panjang. Saya teringat ketika saya belajar agama dan filsafat dan membahas masalah waktu. Usia 68 tahun seperti Hamid, mungkin sudah terlalu panjang dibandingkan rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia. Namun dalam pandangan para malaikat, usia Hamid mungkin hanya sekejap mata. Ada malaikat yang setiap hari turun naik dari langit ke bumi membawa rahmat Allah. Namun dijelaskan dalam keyakinan agama, bahwa satu hari malaikat turun-naik itu adalah sama dengan seratus ribu tahun dalam persepsi manusia di dunia fana. Kalau begitu ukurannya, maka tentulah di mata para malaikat, Hamid hidup hanya sekejap, begitu juga orang lain. Lalu saya teringat akan seekor belalang yang hidup di pohon nangka. Warna sayapnya mirip daun nangka yang masih muda. Konon, menurut para ahli biologi, belalang itu hidup tidak lebih dari 24 jam, dan kemudian mati. Waktu saya kecil, saya berkata di dalam hati: kasihan sekali dengan belalang ini, usianya begitu pendek. Tetapi, kalau ingat tentang turun-naiknya malaikat tadi, mungkin para malaikat akan berkata: kasihan sekali melihat manusia, hidup mereka pendek sekali. Sehari kami turun naik dari langit ke bumi, telah jutaan manusia lahir dan mati. Persepsi tentang waktu nampaknya berbeda di antara makhluk ciptaan Allah. Cukup panjang bagi belalang nangka, sangat pendek bagi manusia. Sangat panjang bagi manusia, terlalu pendek bagi para malaikat.
*******
Kematian Hamid Baharum, saudara sepupu saya itu, makin menyadarkan saya bahwa suatu ketika sayapun akan dikuburkan orang seperti dia. Semua hanyalah masalah waktu belaka. Kalau memang demikian keadaannya, saya berpikir, untuk apalah terlalu "ngotot" dalam kehidupan yang fana ini. Tentu kita ingin berbuat amal-kebajikan sebanyak mungkin selama kita hidup, agar bukan saja bermanfaat bagi sesama manusia dan sesama makhluk, tetapi juga sebagai bekal menjalani kehidupan akhirat kelak. Namun, meskipun kita selalu berniat dan beriktikad baik -- dan dalam kenyataan kita sungguh-sungguh mewujudkannya dengan segenap kemampuan -- toh belum tentu baik juga dalam pandangan manusia-manusia yang lain. Hidup manusia dipenuhi oleh perasaan hasad, iri hati, dengki, curiga dan salah paham. Namun itulah kenyataan hidup yang tak dapat ditolak. Seribu kebaikan yang kita lakukan, terasa hampir tak berbekas, dan alangkah mudahnya dilupakan orang. Namun satu saja kesalahan yang mungkin telah kita buat, akan dihujat setiap hari. Mungkin pula kesalahan itu akan dikenang orang sepanjang masa. Apalagi sekarang kita sedang hidup di alam penuh kebebasan berekspressi dan kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat. Kita tengah hidup di alam demokrasi dengan segala macam tingkat pemahaman dan penafsirannya.
Kalau demikian, haruskah saya berhenti berniat dan beriktikad baik dan berbuat baik di alam nyata? Saya pikir tidak. Seringkali orang tidak menyadari kebaikan dan juga kebenaran. Mereka baru menyadarinya jauh di belakang hari. Bahkan terasa sudah begitu terlambat. Kebaikan tetaplah kita lakukan demi kebaikan itu sendiri, agar kita ikhlas dalam beramal dan batin kita merasa terpuaskan. Kepuasan batin itu penting, walau kenyataan hidup seringkali terasa menyakitkan. Kalau kita banyak berbuat baik kepada orang lain, lebih baik kita melupakannya. Tetapi kalau orang lain berbuat baik kepada kita, wajiblah kita terus mengingat-ingatnya. Semoga saya, menjadi orang yang pandai menghargai segala kebaikan orang lain, dan memaafkan setiap kesalahan dan kekhilafan.
Wallahu 'alam bissawab.